Oleh Mahfud Ikhwan
Judul: Si Lugu
Genre: Sastra/fiksi
Penulis: Voltaire
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: Obor, Jakarta
Tahun: 2001 (cet.ke-4)
Halaman: 117 + x
Penerbit: Obor, Jakarta
Tahun: 2001 (cet.ke-4)
Halaman: 117 + x
Si Lugu bukan buku Voltaire pertama yang saya baca. Nun
dulu, saat masih sekolah, seingat saya saya pernah punya satu buku Voltaire
warna kuning terbitan Pustaka Jaya. Mungkin Zadig.
Meski demikian, saya menemukan Voltaire yang seperti dikatakan banyak
orang—termasuk oleh salah satu pemujanya di Indonesia, sang Begawan Goenawan
Mohamad (GM)—baru di Si Lugu (Prancis: L’Ingenu). GM pernah menyebut Voltaire, a.k.a.
Francois-Marie Arouet (Paris ,
1694-1778), sebagai si pencemooh nomor satu. Dan,
sepanjang pembacaan saya, itu benar adanya.
Si Lugu adalah dongeng tentang seorang pemuda dari bangsa Huronia (sepertinya, itu sebutan zaman itu untuk orang Indian di Amerika Utara), yang menjalani petualangan hebat di Prancis. Berlayar dari Amerika, lalu ke Inggris, sampailah si Huron yang primitif ini ke negera paling yang mendaku diri paling beradab, Prancis. Di negeri ini, ia ketemu dengan orang-orang yang disebut-sebut sebagai paman dan bibinya. Juga, sang kekasih tercinta, Nona de Saint-Yves. Ia masuk Katolik dan balajar menjadi beradab. Namun, ia segera menemukan betapa anehnya ke-Katolik-an dan keberadaban itu.
Seperti kebanyakan penulis-pemikir masa Renaissance, Voltaire menjadikan agama (dalam hal ini Katolikisme dan segala aparatus yang menegakkannya) sebagai sasaran tembak. Lewat kalimat-kalimat polos Si Lugu, Voltaire mengolok-olok hampir semua hal berkait ke-Katolik-an. Dan, saya hakkul yakin, tak ada yang bisa menahan tawa siapa pun yang membaca olok-olok Voltaire dalam buku ini. Kecuali, seorang fanatik tentu saja—hal lain yang paling diserang oleh Voltaire di sepanjang buku.
Si Lugu adalah dongeng tentang seorang pemuda dari bangsa Huronia (sepertinya, itu sebutan zaman itu untuk orang Indian di Amerika Utara), yang menjalani petualangan hebat di Prancis. Berlayar dari Amerika, lalu ke Inggris, sampailah si Huron yang primitif ini ke negera paling yang mendaku diri paling beradab, Prancis. Di negeri ini, ia ketemu dengan orang-orang yang disebut-sebut sebagai paman dan bibinya. Juga, sang kekasih tercinta, Nona de Saint-Yves. Ia masuk Katolik dan balajar menjadi beradab. Namun, ia segera menemukan betapa anehnya ke-Katolik-an dan keberadaban itu.
Seperti kebanyakan penulis-pemikir masa Renaissance, Voltaire menjadikan agama (dalam hal ini Katolikisme dan segala aparatus yang menegakkannya) sebagai sasaran tembak. Lewat kalimat-kalimat polos Si Lugu, Voltaire mengolok-olok hampir semua hal berkait ke-Katolik-an. Dan, saya hakkul yakin, tak ada yang bisa menahan tawa siapa pun yang membaca olok-olok Voltaire dalam buku ini. Kecuali, seorang fanatik tentu saja—hal lain yang paling diserang oleh Voltaire di sepanjang buku.
Simak di bab III, saat Si Lugu bersikeras minta disunat,
setelah menyelesaikan membaca Perjanjian Baru. "Karena dalam buku ini tak
ada satu pun tokoh yang tidak disunat," tegas Si Lugu, yang membuat
bingung orang-orang yang mengkatolikkannya--yang memang tak lagi menganggap
sunat itu bagian dari kekristenan. Pada bab yang sama, ketika di Injil ia
membaca ada perintah, "akuilah dosa kalian satu sama lain", Si Lugu
memaksa pendeta yang mendengar pengakuan dosanya untuk gantian melakukan pengakuan
dosa.
Lalu, di bab IV, siapa yang bisa menahan tawa ketika Si
Lugu yang hendak dibaptis tak muncul di gereja, tapi bersikeras minta dibaptis
di air yang mengalir—sebagaimana ia mengetahui John sang Pembaptis
melakukannya. Kejengkelan Si Lugu semakin memuncak ketika ia tidak boleh
menikah dengan Nona de Saint-Yves, yang tanpa sengaja menjadi ibu baptisnya.
Banyaknya hal-hal yang bertentangan dengan Injil, membuat Si Lugu menghardik
para pembaptisnya, "Menurut pengamatan saya setiap hari di sini banyak
sekali dilakukan hal-hal yang tak tercantum dalam buku itu, sebaliknya apa yang
diperintahkan di situ malahan tidak dikerjakan..." (hlm. 29). Dan
puncaknya, setelah serangkaian kontradiksi yang ditemui, mendengar kisah
penderitaan orang-orang Heguenot yang dikejar-kejar, dan bertemu dengan si
Gordon tua yang dipenjara tanpa jelas kesalahannya, dengan geram lagi bingung,
Si Lugu bilang, "...semua orang malang yang pernah bertemu dengan saya
menderita gara-gara Paus."
Tentu tak sulit untuk menemukan kalau semua kalimat bernada hujatan kepada kekristenan itu tak lain adalah kalimat Voltaire sebagai seorang pemikir Zaman Pencerahan. Karena itu, gugatan-gugatan Si Lugu atas agama, meskipun tajam dan sekaligus lucu, tapi tak benar-benar menghentak—wis tau, begitu kira-kira bahasa Jogja-nya. Dengan kata lain, kita bisa bilang, "ya, seperti itulah sikap para pemikir Zaman Pencerahan terhadap agama". Demikian juga saat dengan menggebu, bertubi-tubi, dan tanpa sungkan, di bagian-tengah hingga akhir cerita, Voltaire, lewat pikiran dan mulut Si Lugu, menelanjangi kebobrokan para pejabat istana yang berkomplot dengan para pemuka agama. Itulah memang yang dijadi bulan-bulanan selama abad-abad Pencerahan itu.
Tentu tak sulit untuk menemukan kalau semua kalimat bernada hujatan kepada kekristenan itu tak lain adalah kalimat Voltaire sebagai seorang pemikir Zaman Pencerahan. Karena itu, gugatan-gugatan Si Lugu atas agama, meskipun tajam dan sekaligus lucu, tapi tak benar-benar menghentak—wis tau, begitu kira-kira bahasa Jogja-nya. Dengan kata lain, kita bisa bilang, "ya, seperti itulah sikap para pemikir Zaman Pencerahan terhadap agama". Demikian juga saat dengan menggebu, bertubi-tubi, dan tanpa sungkan, di bagian-tengah hingga akhir cerita, Voltaire, lewat pikiran dan mulut Si Lugu, menelanjangi kebobrokan para pejabat istana yang berkomplot dengan para pemuka agama. Itulah memang yang dijadi bulan-bulanan selama abad-abad Pencerahan itu.
Yang justru paling mencengangkan bagi saya adalah
olok-olok Voltaire terhadap mentalitas orang Prancis; sifat sok terhormatnya,
sok jadi pusat dunia, sok agamisnya, juga sok inteleknya. Semua itu—meminjam
istilah jalanan—diingusi oleh Voltaire. Kita bisa ketahui hal itu dari paparan
berikut.
Setelah diketahui kalau Si Lugu adalah orang Indian Kanada, Voltaire berkisah dengan nyinyir, orang-orang kemudian berdiskusi tentang banyaknya bahasa di dunia ini dan sepakat kalau tanpa peristiwa Menara Babel, seluruh dunia pasti akan ngomong Prancis.(hlm. 7). Pastor de Saint-Yves bertekad untuk mendidik Si Lugu sebaik mungkin sebelum dibaptis, sebab menurutnya, orang yang tidak dilahirkan di Prancis tidak memiliki akal sehat.(hlm. 14). Dan, silakan ketawa saat membaca komentar Nona de Kerkabon saat mendengar cerita Si Lugu kalau di kapal orang Inggris Si Lugu tak pernah menemukan Injil. "Mereka lebih menghargai drama Shakespeare, kue puding buah prem, dan minuman rum daripada Kitab Perjanjian Lama. Oleh karena itu mereka tidak berhasil mengkatolikkan Amerika. Mereka patut mendapat kutukan Tuhan. Kita harus merebut Jamaica dan Virginia sebelum terlambat." (hlm. 15-16). Lalu, tentu saja sosok Si Lugu sendiri, yang dari kepala sampai kaki, tak lain dan tak bukan adalah mesin penghancur snobisme orang Prancis.
Jika ejekan ala Voltaire itu dituliskan saat ini, di mana karya semacam Orientalisme-nya Said telah ditulis, tentu ejekan tak ada yang istimewa. Tapi, Voltaire menulis Si Lugu di tengah abad ke-18, kala negara-negara di bagian barat Eropa sedang asyik-asyiknya saling menunjukkan keunggulannya dengan cara mengkoloni bangsa-bangsa lain sebanyak-banyaknya. Ejekan-ejekan atas kebanggaan pada bangsa sendiri adalah tindakan yang jauh mendahului zamannya. Bandingkan dengan buah pikiran Comte, yang sangat Prancis-sentris itu. Juga fisika sosial ala Spencer yang, mesti tidak sangat Inggris, tapi amat memuja ras kulit putih. Hal yang sama juga dilakukan Marx dalam Das Kapital-nya. Bahkan Nietzsche, yang hidup dua abad sesudah Voltaire, mengilhami lahirnya Naziisme—lepas dari salah tafsirnya Hitler.
Tapi mengharapkan Voltaire sepenuhnya lepas dari bias tentu saja adalah tuntutan yang terlalu mengada-ada dan berlebihan. Tentu saja Voltaire masih anak zamannya, yang memandang orang di seberang lautan sana sebagai hewan buas yang hanya bisa dijinakkan dengan budaya Barat, terkhusus budaya Prancis. Ia, misalnya, menggambarkan kalau Si Lugu menjadi jauh lebih cerdas, mampu mengeluarkan semua bakat luar biasanya, dan jadi jauh lebih bijaksana setelah ia belajar Matematika dan ilmu-ilmu ala Barat di Penjara Bastille di bawah bimbingan si Tua Gordon, yang menganut Jensenisme itu.
Voltaire juga anak sah jamannya jika bicara tentang perempuan. Secara verbal Voltaire menulis—dan ini jelas sang penulis (Voltaire) yang berpendapat—kalau, "Tuhan menciptakan wanita semata-mata untuk menjinakkan lelaki." Secara esensial, cara pandang Voltaire atas perempuan terlihat pada bagaimana perlakuannya terhadap Nona de Saint-Yves, tokoh utama perempuan Si Lugu. Menurut saya, sang Nona tak lebih dari pelumas agar mesin cerita berjalan sebagaimana mestinya. Ia rupawan, cerdas, dan baik hati. Dan, tentu saja, rela berkorban demi orang yang dicintai. Dengan apakah ia berkorban? Mudah ditebak: dengan kecantikan dan kehormatannya. Dua hal itulah yang diserahkannya kepada pejabat kerajaan demi membebaskan Si Lugu yang dicintainya dari penjara. Dan, seperti semua tokoh perempuan yang kehilangan kehormatannya dalam cerita klasik, tak ada akhir yang pantas untuk Nona de Saint-Yves selain dibunuh.
Tapi, untuk kekocakannya yang menggoncangkan, kebijaksanaannya yang halus, dan kenyinyirannya yang mengharukan, seribu pemakluman akan mudah diberikan untuk Voltaire dan Si Lugu-nya. Tidak bisa tidak.
Bagi siapapun yang skeptis, buku ini tak bisa dilewatkan. Bagi yang optimis, apalagi. Karena tanpa membaca buku seperti Si Lugu ini, dan penulis seperti Voltaire, Anda tak akan pernah bisa mengakhiri masa-masa menipu diri sendiri, hehehe....
Setelah diketahui kalau Si Lugu adalah orang Indian Kanada, Voltaire berkisah dengan nyinyir, orang-orang kemudian berdiskusi tentang banyaknya bahasa di dunia ini dan sepakat kalau tanpa peristiwa Menara Babel, seluruh dunia pasti akan ngomong Prancis.(hlm. 7). Pastor de Saint-Yves bertekad untuk mendidik Si Lugu sebaik mungkin sebelum dibaptis, sebab menurutnya, orang yang tidak dilahirkan di Prancis tidak memiliki akal sehat.(hlm. 14). Dan, silakan ketawa saat membaca komentar Nona de Kerkabon saat mendengar cerita Si Lugu kalau di kapal orang Inggris Si Lugu tak pernah menemukan Injil. "Mereka lebih menghargai drama Shakespeare, kue puding buah prem, dan minuman rum daripada Kitab Perjanjian Lama. Oleh karena itu mereka tidak berhasil mengkatolikkan Amerika. Mereka patut mendapat kutukan Tuhan. Kita harus merebut Jamaica dan Virginia sebelum terlambat." (hlm. 15-16). Lalu, tentu saja sosok Si Lugu sendiri, yang dari kepala sampai kaki, tak lain dan tak bukan adalah mesin penghancur snobisme orang Prancis.
Jika ejekan ala Voltaire itu dituliskan saat ini, di mana karya semacam Orientalisme-nya Said telah ditulis, tentu ejekan tak ada yang istimewa. Tapi, Voltaire menulis Si Lugu di tengah abad ke-18, kala negara-negara di bagian barat Eropa sedang asyik-asyiknya saling menunjukkan keunggulannya dengan cara mengkoloni bangsa-bangsa lain sebanyak-banyaknya. Ejekan-ejekan atas kebanggaan pada bangsa sendiri adalah tindakan yang jauh mendahului zamannya. Bandingkan dengan buah pikiran Comte, yang sangat Prancis-sentris itu. Juga fisika sosial ala Spencer yang, mesti tidak sangat Inggris, tapi amat memuja ras kulit putih. Hal yang sama juga dilakukan Marx dalam Das Kapital-nya. Bahkan Nietzsche, yang hidup dua abad sesudah Voltaire, mengilhami lahirnya Naziisme—lepas dari salah tafsirnya Hitler.
Tapi mengharapkan Voltaire sepenuhnya lepas dari bias tentu saja adalah tuntutan yang terlalu mengada-ada dan berlebihan. Tentu saja Voltaire masih anak zamannya, yang memandang orang di seberang lautan sana sebagai hewan buas yang hanya bisa dijinakkan dengan budaya Barat, terkhusus budaya Prancis. Ia, misalnya, menggambarkan kalau Si Lugu menjadi jauh lebih cerdas, mampu mengeluarkan semua bakat luar biasanya, dan jadi jauh lebih bijaksana setelah ia belajar Matematika dan ilmu-ilmu ala Barat di Penjara Bastille di bawah bimbingan si Tua Gordon, yang menganut Jensenisme itu.
Voltaire juga anak sah jamannya jika bicara tentang perempuan. Secara verbal Voltaire menulis—dan ini jelas sang penulis (Voltaire) yang berpendapat—kalau, "Tuhan menciptakan wanita semata-mata untuk menjinakkan lelaki." Secara esensial, cara pandang Voltaire atas perempuan terlihat pada bagaimana perlakuannya terhadap Nona de Saint-Yves, tokoh utama perempuan Si Lugu. Menurut saya, sang Nona tak lebih dari pelumas agar mesin cerita berjalan sebagaimana mestinya. Ia rupawan, cerdas, dan baik hati. Dan, tentu saja, rela berkorban demi orang yang dicintai. Dengan apakah ia berkorban? Mudah ditebak: dengan kecantikan dan kehormatannya. Dua hal itulah yang diserahkannya kepada pejabat kerajaan demi membebaskan Si Lugu yang dicintainya dari penjara. Dan, seperti semua tokoh perempuan yang kehilangan kehormatannya dalam cerita klasik, tak ada akhir yang pantas untuk Nona de Saint-Yves selain dibunuh.
Tapi, untuk kekocakannya yang menggoncangkan, kebijaksanaannya yang halus, dan kenyinyirannya yang mengharukan, seribu pemakluman akan mudah diberikan untuk Voltaire dan Si Lugu-nya. Tidak bisa tidak.
Bagi siapapun yang skeptis, buku ini tak bisa dilewatkan. Bagi yang optimis, apalagi. Karena tanpa membaca buku seperti Si Lugu ini, dan penulis seperti Voltaire, Anda tak akan pernah bisa mengakhiri masa-masa menipu diri sendiri, hehehe....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar