Kamis, 02 Mei 2013

Timba


Oleh Mahfud Ikhwan

Perjalanan dari aktivitas ”membaca” menuju aktivitas ”menulis” selalu menjadi petualangan yang panjang, melelahkan, dan seringkali menggentarkan. ”Membaca” adalah bagaimana menjadi ember kosong menganga yang menunggu air ditumpahkan dari timba, sementara ”menulis” adalah menjadi timba itu sendiri: ia harus mencebur ke sumur yang dalam, memastikan posisi bibir timba pas dengan permukaan air sehingga bisa menciduk air dengan sebanyak mungkin, naik mendaki sumur, lalu menumpahkan air tersebut, lalu masuk lagi, menciduk air lagi, dan baru benar-benar berhenti ketika ember kosong (yang bukan dirinya) itu penuh air. Penulis, eh timba, adalah altruis sejati, seorang Prometheus par exelent.

Kita sering menyangka bahwa menjadi ember sudah cukup mulia ketika kebanyakan orang memilih menjadi bak mandi. Karena itu, ember kosong yang hendak menjadi timba sering kali sama sulitnya dengan hamba biasa yang hendak menjadi nabi. ”Emang siapa lo?” begitu kira-kira komentar para bak mandi yang memang tak tahu apa-apa itu.

Acap kali, sebuah bacaan yang kita temukan adalah semacam nasihat orang tua: yang kita inginkan cuma mendengarnya, merenungi, atau menimbang apa itu diambil atau diabaikan, tanpa perlu membantah atau mengamini. Lain kali, kita seperti mendengar seorang teman bicara dan kita menyimak saja. Kita punya pendapat lain soal apa yang dibicarakannya, kita punya data berbeda yang bisa diajukan, namun kita tak hendak bicara karena daripada mempersoalkan benar-tidaknya obrolan itu kita memilih untuk mencoba menikmati apa yang diobrolkannya atau menunggu apa yang hendak dibicarakan lebih jauh, dan dengan demikian obrolan tak harus berubah status menjadi adu argumen atau perdebatan. Tapi, bisa juga, sebuah bacaan yang kita temukan tak lebih dari obrolan di kejauhan yang sayup dan tak penting benar untuk kita pikirkan, apalagi tanggapi.

Dengan demikian, melakukan reposisi dari "membaca" ke "menulis" bahkan tak semudah mengubah posisi dari bertahan menjadi menyerang seperti yang ada dalam permainan sepakbola. Sebab, dalam reposisi itu, kita seringkali musti jadi anak durhaka yang banyak bacot, teman menjengkelkan yang suka ngajak tengkar, atau orang asing yang senang nimbrung urusan orang lain. Jika kembali ke amsal timba, pembaca yang menulis adalah ember kosong yang tak kerasan dengan penantiannya. Ia maunya nyemplung langsung ke sumur, bersua dengan air, mereguknya sampai penuh, dan memamerkan kepada dunia perjumpaan itu. Meski, ia harus menanggung risiko terbentur-bentur dinding sumur, gagal menciduk air dan terkatung-katung oleh ketidakmampuan, atau bahkan sama sekali tenggelam--sebab tali timba bisa putus kapan saja.

Tapi, meski jelas susah, berpeluh-peluh, malah kadang berdarah-darah, sebenarnya banyak asyiknya menjadi (atau merasa menjadi) timba. Sebab, timbalah yang paling dekat dengan sumur. Bahkan, kepada bak mandi, yang kadang tak tahu menahu darimana asal air yang mengisi dirinya, si timba bisa saja—dengan sedikit angkuh—mengaku sebagai sumur.


Minggu, 21 April 2013

Buku-buku dan Saya: Sebuah Hubungan yang Rumit


Oleh Mahfud Ikhwan


"Jika engkau telah memiliki sebuah perpustakaan besar dan mengetahui semua buku yang terdapat di dalamnya, itu ... tidak serta-merta bahwa engkau adalah seorang pemikir. Perpustakaanmu yang besar itu hanya menunjukkan bahwa dompetmu cukup tebal untuk menyewa beberapa orang yang berpikir untukmu."   
-- Mohammad Iqbal, Filsuf --



Ini terjadi kira-kira hampir sewindu lalu, di sebuah kantor LSM di Jakarta.

Seorang teman, yang mendaku dirinya sebagai anak gaul (dan ia nyaman dengan label itu), mengernyitkan dahi saat saya bercerita kalau saya bisa belanja buku hingga 300 ribu sekali beli. “Ih, itu bisa dapat baju berapa potong ya?” tanyanya.

Saya menanggapi tanggapannya dengan senyum. Meski tak bermaksud merendahkan cara dia berpikir soal apa yang dikonsumsinya, saya merasa pantas untuk membanggakan diri. Saya manusia biasa, yang kadang mengidap keangkuhan. Ya, seperti kebanyakan dari kita, yang selalu memandang diri sendiri lebih baik dari orang lain. Lebih-lebih ketika kita mendapatkan parameter yang jelas: pakaian dan buku, alias gombal dan kitab. (Tak perlu jadi sok intelek ‘kan untuk tahu mana yang lebih mulia?) Karena cara berpikir yang demikian, saya saat itu juga punya sangkaan kalau teman saya yang gaul itu sedang mendapat pelajaran penting kalau gombal bukan satu-satunya yang mesti dibeli jika kita punya uang saku lebih. Terus terang, saya berharap sebuah pencerahan menghampiri kepalanya, begitu ia pulang dan memiliki waktu untuk merenung.

Tapi, seiring berjalannya waktu, rasa-rasanya, sayalah yang justru mendapatkan pencerahan dari dialog pendek itu.

***

Saya menyukai buku sejak kecil. Dan saya semakin mencintai buku begitu kuliah di Jogja. Tapi, sampai beberapa semester, saya bukan seorang pembeli buku. Maklum, saya tak memiliki alokasi untuk itu. Saya hanya mahasiswa yang hidup matinya tergantung dari wesel orang tua, dengan hitung-hitungan jelas: SPP+biaya hidup. Buku tak dihitung di situ. Kalau pun beli buku, saya hanya beli yang kira-kira benar-benar menentukan untuk kuliah. Kalau pun beli buku di luar keperluan kuliah, saya cari buku yang benar-benar murah. Bajetnya kira-kira antara 5 ribu hingga 10 ribu. Itu pun benar-benar saya batasi untuk yang benar-benar saya sukai. Saya masih ingat buku-buku yang pertama yang saya beli lengkap dengan harganya. Antara lain adalah dua kumpulan cerpen Komunitas Sastra Bulak Sumur (KSBS) yang harganya masing-masing tak lebih dari Rp3500. Saya juga punya dua kumpulan cerpen Bernas (salah satunya berjudul Guru Tarno, yang harganya kurang lebih 6 ribu). Buku termahal saya waktu itu adalah novel Kroco (Putu Wijaya) yang harganya 9 ribu.

Di luar buku-buku itu, kesukaan saya terhadap buku terpaksa saya tumpahkan di perpus-perpus yang bisa dijangkau. Juga buku teman-teman yang bisa dipinjam. Tapi, ketika semakin banyak menemukan buku-buku yang rasa-rasanya tak cukup dibaca sekali, juga melihat kamar beberapa teman yang dihiasi rak-rak penuh buku, saya tersiksa dengan “keasketisan” saya ini. Lebih-lebih, saya tinggal tidak jauh dari Shoping Center, pasar buku di Jogja, sorganya para pencinta buku. Lengkaplah penderitaan saya.

Tersiksa oleh kesakitan ini, saya mulai berpikir untuk belajar menulis. Itu cara banyak mahasiswa Jogja mendapatkan bukunya. Saya mungkin bisa mencoba cara yang sama. Dan itu ternyata berhasil. Semenjak cerpen pertama saya dimuat di sebuah majalah remaja, saya mulai sedikit berani beli buku. Tapi, keberanian itu tentu saja bukan disebabkan karena saya mendapat banyak uang dari menulis. Keberanian itu muncul, lebih karena munculnya keangkuhan konyol bahwa dengan (merasa) menjadi penulis saya merasa telah memiliki pekerjaan dan bisa berharap memiliki penghasilan.

Dengan merasa jadi penulis, plus keberanian untuk beli buku, sampai selesai kuliah, ternyata buku saya tak kunjung banyak. Selama lima tahun kuliah, buku saya tak lebih dari 300-an ex.. Itu pun kebanyakan tipis-tipis dan jelas (dari judul dan wujudnya) bekas.

Mohon maklum, dalam lima tahun itu saya memang tetap mahasiswa miskin dan penulis yang belum kunjung berhasil.

***


Saat lulus dan mulai bekerja, meski dengan gaji yang semenjana, saya merasa lebih bebas berhubungan dengan buku. Bisa ditebak, konsumsi saya terhadap buku jadi jauh meningkat. Buku-buku yang sejak dulu saya incar, saya beli satu demi satu. Pakaian bulukan, tak peduli. Hidup di kota besar tanpa hp, tak masalah. Tabungan tak pernah benar-benar diisi, cuek saja. Pada saat-saat inilah saya bisa beli buku dalam satu hari dengan alokasi yang kadang melebihi biaya makan sebulan. Dan, pada saat ini pula dialog dengan teman yang saya cuplik di awal tadi terjadi.

Maka, dalam waktu yang jauh lebih singkat, jumlah buku yang terpajang di rak di kamar saya jauh melebihi jumlah buku saat lima tahun jadi mahasiswa. Yang jauh lebih berbeda dari koleksi buku saya sebelumnya, banyak buku baru di situ. Dan banyak di antaranya tebal-tebal. Jelas lebih keren kalau dilihat. Dan, sebagai seorang yang menganggap buku sebagai bagian penting dalam hidup (seperti seorang interpreneur dengan akumulasi modalnya, atau seorang PNS dengan kenaikan kelas kepegawaiannya, atau seorang petani dengan rajakayanya), saya sangat membanggakan buku-buku yang saya beli itu. 

Tapi, bersamaan dengan konsumsi buku yang meningkat, rak-rak yang semakin banyak dan semakin sesak saja, hasrat saya membaca justru tengah merosot. Setelah bekerja seharian, rasa-rasanya kita seperti memiliki hak untuk menjadi malas. Dan, setelah sekian lama tak lagi berstatus mahasiswa, kita sepertinya merasa baik-baik saja jika tak terlalu keras belajar. Demikianlah. Dulu, saat masih dengan buku tipis-tipis, bulukan, bodol, jahit kawat yang karatan, saya selalu hapal diluar kepala judul sebuah buku hanya dengan melihat di bagian rak mana dia berada—sebab hampir semua buku itu tuntas terbaca. Kini, meski banyak buku dengan punggug tebal dan judul jelas tertera, saya tak benar-benar bisa mengingat itu buku apa, atau tentang apa. Bahkan, untuk beberapa buku, saya benar-benar tak tahu buku itu tentang apa, karena belum pernah membacanya.

Yang jadi masalah, meski tak lagi liat dalam membaca, hasrat saya untuk membeli buku, tetap saja besar. Dalam kasus ini, “mencintai haruslah memiliki” benar-benar terjadi. Maka, saya pun tetap membeli buku—meski anggaran untuk membeli teh dan kopi harus dikebiri. Dan, dengan demikian, semakin banyak saja buku di rak yang tak terbaca.

***


Kalau dulu, seusai belanja buku habis banyak (entah karena agak mahal, atau karena beli dalam jumlah besar), saya selalu pulang dengan gundah karena saya telah berlaku terlalu boros dan telah dengan semena-mena merampas hak perut saya di pengujung bulan nanti. Kini, saya juga mengalami hal yang sama, tapi dengan alasan yang sedikit berbeda. Sehabis keluar dari pameran buku, dengan membawa belanja ratusan ribu, saya gundah karena sulit membayangkan kapan buku-buku itu akan terbaca. Bukan saja karena daftar antrian buku yang belum dibaca semakin panjang saja, tapi karena banyak buku yang saya beli sebenarnya tak benar-benar saya butuhkan (paling tidak dalam waktu dekat).

Pada titik inilah saya biasanya teringat apa yang dikatakan teman saya dulu. “Ih, itu bisa dapat baju berapa potong ya?”

Kalimat itu terngiang. Kali ini, saya mengingatnya tidak dengan bibir senyum, tapi dengan muka tercenung. Keangkuhan yang dulu saya sandang, berkait perbandingan antara buku dan baju, jadi meluruh. Saya merasa tak berhak untuk bangga—bahkan mungkin saya sebaiknya merasa malu. Sebab, mulai saya sadari, kami sebenarnya sama saja. Kami sama-sama belanja. Kami sama-sama membeli. Kami sama-sama mengkonsumsi. Saya beli buku, dia beli baju. Saat membeli, semangat kami sama: menambah koleksi, melayani hobi, memenuhi hasrat. Ah, dalam beberapa hal, mungkin dia malah lebih baik. Misalnya, dia tak terlalu berbusa-busa bicara soal kebiasaan beli bajunya, sementara saya begitu membanggakan kebiasaan saya beli buku. 

Ketika kegundahan ini saya bagi dengan teman-teman yang saya anggap memiliki kecenderungan yang sama (tentu saja dengan mengutip perkataan teman saya yang mengaku gaul itu), tanggapan mereka rata-rata seragam. “Ah, tetap bedalah baju sama buku.” Seorang teman yang lain, berkelakar (tapi dengan semangat bersungguh-sungguh), “kita beli buku kan bukan hanya untuk diri kita, tapi untuk anak-anak kita kelak.”

“Ya jelas beda. Pokoknya beda!” kata sebagian dari diri saya yang masih saja angkuh.

Meski saat membeli kita tampak begitu rakus? Meski sebuah buku kita beli hanya karena harganya berdiskon? Meski saat beli buku kita seperti orang Amerika yang berbondong-bondong beli Encyclopedia Britanica untuk mempermanis ruang tamunya?

“Pokoknya, buku jauh lebih mulia dari baju!” Itulah kalimat pamungkas yang akhirnya saya pakai untuk mengusir rasa bersalah.

***


Membeli buku itu baik. Namun, kita akan menjadi manusia yang lebih baik jika kita membaca buku yang kita beli. Dan, orang yang membaca buku-lah (dan bukan sekadar membelinya) yang lebih mulia dibanding dengan orang yang membeli baju.

Saya yakin begitu.


*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Atas Angin 

Jumat, 02 November 2012

Perpustakaan dalam Jepretan


Sejak secara resmi dibuka pada 28 Oktober 20012, Perpustakaan Kyai Munawar ternyata mendapat sambutan hangat dari khalayak--terutama anak-anak. Mereka berbondong-bondong datang, ingin tahu, memeriksa, melihat-lihat, dan akhirnya membaca. Tentu dengan gampang kita bisa menduga bahwa mereka tengah terjangkiti euforia; bukankah begitu biasanya anak-anak desa menyambut sesuatu yang baru pertama kali atau jarang dilihatnya? Namun, dengan sedikit membesar-besarkan hati, patut juga kita mengira-ngira bahwa setiap peradaban selalu ada titik mulanya: mereka.



Setiap tatanan selalu diawali oleh chaos.

Harap ramai, ada perpustakaan.



Bertekuk lutut dengan aksara.


Siapa yang mencintai buku, ia mencintai kesunyian.


Senin, 29 Oktober 2012

Bocah Lembor Tak Suka Membaca, Siapa Bilang?


Siapa bilang anak-anak Desa Lembor tak suka membaca? Para pengelola Perpustakaan Kyai Munawar membuktikan bahwa anggapan umum yang disepakati itu salah besar.

Sejak resmi dibuka pada 28 Oktober 2012, Perpustakaan Kyai Munawar langsung diserbu oleh pengunjung. Sebagian besar pengunjung adalah anak-anak. Anak-anak perempuan mengerubuti rak yang memajang buku-buku cerita bergambar, sementara para bocah laki-laki asyik dengan buku-buku sains bergambar.

Kegairahan yang meluap-luap ini bahkan membuat petugas penjaga perpustakaan kewalahan. Mereka merengek agar perpustakaan dibuka sebelum jadwalnya, dan sewot saat penjaga mengumumkan waktunya perpustakaan musti ditutup. (Karena satu dan lain hal, untuk masa-masa awal pembukaanya, Perpustakaan Kyai Munawar memang masih membatasi waktu pelayanan antara pukul 3-5 sore (ba’da asyar hingga menjelang maghrib) dan pukul 7-10 malam.)

Meski merepotkan, kegairahan yang meluap-luap ini tentu saja menggembirakan. Sebab, ini sejalan dengan target awal yang dicanangkan oleh pengelola perpustakaan. Sasaran utama dari dibukanya Perpustakaan Kyai Munawar untuk publik adalah pembaca anak-anak. Kepolosan yang masih bersih dari prasangka (sesuatu yang biasanya dimiliki oleh orang dewasa terhadap sesuatu yang baru), waktu bermain dan bersenang-senang yang masih melimpah, serta keingintahuan yang besar, menjadi alasan mengapa pembaca anak-anak menjadi target. Mendukung terwujudnya target tersebut, pengelola mengisi sebagian besar rak koleksi perpustakaan dengan bacaan anak-anak.


Di samping itu, kegairahan ini tentu saja sedikit mengikis kekhawatiran awal bahwa perpustakaan baru itu akan menjadi ruangan yang senyap dengan buku-buku yang berdebu dan tak terbaca (sebagaimana nasib perpustakaan di banyak tempat di negeri ini). Pun, menjadi jawaban atas pendapat dari beberapa kalangan bahwa mendirikan perpustakaan di Desa Lembor adalah sesuatu yang mubazir karena hampir pasti tak terbaca. Pendapat ini mengacu kepada pengalaman yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Tentu saja masih terselip harap-harap cemas bahwa kegairahan anak-anak itu hanya sebuah euforia awal saja—sebagaimana biasa terjadi pada sesuatu yang baru. Sangat mungkin, setelah beberapa kali berkunjung, para pembaca kecil itu dihinggapi rasa bosan. Dan, akhirnya, bocah-bocah itu tak pernah kembali lagi. Namun, bukannya dijadikan halangan, kekhawatiran itu tentu saja dijadikan tantangan oleh pengelola perpustakaan.

Seperti problem semua perpustakaan di dunia dari masa ke masa, pengelola harus bisa membuat pengunjung terus datang ke perpustakaan. Hal yang sama juga hendak dan sedang dilakukan oleh pengelola Perpustakaan Kyai Munawar. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan program-program yang mampu menarik minat anak-anak untuk tetap berkunjung ke perpustakaan.

Sembari terus mengupayakan hal-hal yang bisa mengikat pembaca-pembaca pertama dan utamanya ini, kegairahan pada masa-masa awal beroperasinya perpustakaan memberikan harapan yang sangat berharga: anak-anak Desa Lembor ternyata suka membaca. Dan, itu alasan yang lebih dari cukup untuk berdiri dan hidupnya sebuah perpustakaan.

Rabu, 03 Oktober 2012

Menara Merah: Buku Resep Masakan Rasa Komunis


Menjelang kejatuhan Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda, yang bersamaan dengan meluasnya ekspansi pasukan Jepang, telah muncul gerakan-gerakan bawah tanah yang berhaluan anti fasis. Salah satunya adalah gerakan yang banyak disebut sebagai PKI Ilegal (mungkin untuk menunjukkan hubungannya dengan PKI legal yang sejak kegagalan pemberontakan 1926 dianggap sebagai organisasi politik terlarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda). Muncul atas inisiatif Muso, tokoh PKI lama yang pernah muncul di Surabaya antara akhir tahun 1935 sampai awal 1936, gerakan ini diperkirakan amat kuat kaitannya dengan Komunis Internasional (Komintern) yang sedang giat-giatnya menggalang pembentukan Front Demokratik Melawan Fasisme.

Senin, 24 September 2012

Veteran Amerika, Jip Belanda, dan Sejarah Indonesia

Siapa sangka jika sejarah revolusi Indonesia memiliki hutang besar dengan seorang veteran Amerika dan seonggok jip bekas pasukan Belanda?

Tersebutlah nama George McTurnan Kahin. Sebagai anggota sukarelawan pasukan penerjun Amerika yang direncanakan akan diturunkan di Hindia Belanda, Kahin mendapatkan bekal pengetahuan tentang Hindia Belanda sebelum diterjunkan di lapangan. Namun, karena yang kemudian diterjunkan di Hindia Belanda adalah pasukan Inggris dan bukannya pasukan Amerika, Kahin tak jadi diberangkatkan dan satuannya malah dibubarkan. Tapi rupanya, Hindia Belanda sudah kadung memikat hatinya. Memakai uang santunannya sebagai veteran pasukan Amerika, Kahin kemudian mengambil kuliah Asia Tenggara di Universitas John Hopkins. Tahun 1948, Kahin tiba di Jakarta untuk memulai penggarapan disertasi doktoralnya tentang Hindia Belanda.

Kamis, 20 September 2012

Pemberontak itu Mencuri 2500 Buku


Seperti kebanyakan pemberontakan dan gerakan revolusi di seluruh dunia, konsep-konsep yang ditawarkan tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Kahar Muzakkar, sering sangat muluk. Hal itu bisa disimak pada buku panduan revolusi Islam yang ditulisnya, Catatan Bathin Pejuang Islam Revolusioner, juga pada isi Piagam Makalua yang digagasnya. 

Namun, jangan salah. Kahar Muzakkar tak mau berhenti hanya pada konsep. Ia mencoba mewujudkan konsep-konsep itu dalam tindakan, meski dalam beberapa ukuran tindakan itu dapat dianggap "tidak biasa".