Tentang Buku dan Membaca
“Bacalah dengan nama Tuhanmu….”
(al-‘Alaq [96]; 1)
Ketika perpustakaan-perpustakaan di Bagdad masih disesaki oleh buku-buku,
saat itulah Islam mengalami jaman keemasannya. Ketika ratusan sarjana Islam
masih asyik bergulat di laboratorium-labiratorium untuk serangkaian eksperimen
serta suntuk di ruang baca menerjemahkan naskah-naskah Plato dan Aristoteles,
saat itulah Islam pernah menjadi pusaran peradaban dunia. Tak ada yang
menyangkal, lewat lorong-lorong gelap perpustakaan dengan buku berjejal itulah
Islam, di bawah Bani Abbasiyah, menerangi dunia yang masih gulita. Umum
digambarkan, manakala jalan-jalan di Bagdad telah terang-benderang oleh aneka
lampu dan kanal-kanalnya mengalirkan air bersih dari rumah ke rumah, penduduk
London masih membuang kotorannya di tepi jalan.
Lalu Bani Abbasyiah lantak oleh serbuan Timur Lenk dari Mongol. Tak ada
gambaran yang lebih memilukan dari cerita kehancuran itu kecuali saat
perpustakaan-perpustakaan di Bagdad diratakan dengan tanah dan ratusan ribu
bukunya ditenggelamkan ke Sungai Tigris. Setelah itu, dunia Islam dan peradaban
yang dibangunnya tak pernah lagi sama.
Saat Eropa yang Nasrani kemudian menyalip dari belakang, dan pada akhirnya dengan
angkuh memimpin di depan (hingga saat ini), cerita awalnya pun dari buku. Dalam
bukunya, Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, A. Teew, Indonesianis
terkemuka asal Belanda, bertutur bahwa Pencerahan Eropa, konon, diawali ketika
para biarawan Gereja Santo Benedictus di Skotlandia memutuskan untuk berkelana
ke Timur (diperkirakan ke Mesir) guna menyalin buku-buku yang tidak ada di daratan
Britania. Dari usaha itulah mereka kemudian menyerap pengetahuan Timur yang
saat itu jauh lebih maju. Itulah awal Eropa Nasrani menapaki kebesarannya.
Sedikit paparan itu cukuplah untuk menggambarkan betapa buku, secara
material, dan tradisi baca, sebagai tindak kultural, menjadi tolok ukur dari
jatuh dan bangunnya sebuah peradaban. Buku dan tradisi baca adalah bibit dan
kecambah yang pada nantinya akan berbuah: peradaban.
Maka, Mahabenar Allah, ketika Dia memerintahkan Muhammad SAW membaca, jauh
sebelum Dia memerintahkan sholat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdhoh
lainnya. Secara tersirat Allah ingin menegaskan bahwa membaca adalah dasar manusia
menunaikan tugasnya: menyembah Tuhannya.
Tuhan hanya bisa dikenali kebesaran-Nya ketika manusia bisa membaca tanda-tanda
keberadaannya. Tuhan hanya bisa dipuja ketika manusia membaca ilmu yang
diajarkan-Nya. Membaca adalah cara paling tua manusia untuk memperoleh
pengetahuan. Dan, tidak ada ibadah yang diterima kecuali ditegakkan di atas
pengetahuan.
Diakui atau tidak, umat Islam sekarang berada di shaf paling belakang dalam
hal pengetahuan dibanding dengan komunitas keagamaan lain. Setelah tertinggal
jauh oleh Eropa dan Amerika yang Nasrani, Islam kini juga harus mengakui
keunggulan Jepang, Korea, dan Cina yang bangkit dengan spirit Zen
Budhis-nya—yang notabene berhasil bangkit dari tidur panjang peradabannya.
Tidak bisa tidak, hal ini tak lain karena rendahnya tradisi baca umat Islam.
Umat Islam tidak pernar benar-benar bangkit kembali dari keterpurukan
peradabannya, bahkan setelah berabad-abad mulai menyadari keterpurukan
tersebut.
Tak ada jalan lain, sebagaimana Allah telah mengawalinya, kebangkitan umat
Islam harus diawali dari membaca. Membaca apa saja.
Masyarakat Lembor, Tradisi Baca, dan Perpustakaan Kyai Munawar
Desa Lembor terletak di ujung barat daya Kecamatan Brondong, Kabupaten
Lamongan, Propinsi Jawa Timur. Seratus persen penduduknya memeluk agama Islam.
Jika mengacu kepada klasifikasi Agama Jawa ala Clifford Gertz, masyarakat
Lembor sangat layak disebut sebagai masyarakat santri.
Akan tetapi, sebagaimana umat Islam secara umum, tradisi baca masyarakat
Lembor—dengan sangat menyesal musti dikatakan—masih sangat rendah.
Intelektualitas, satu hal yang paling identik dengan tradisi baca, belum lagi
menjadi sesuatu yang diprioritaskan. Seiring membaiknya ekonomi masyarakat desa
Lembor akibat gelombang TKI-sasi dalam dua dekade terakhir, perbaikan tingkat
pendidikan memang mengalami peningkatan. Paling tidak, menurut sensus terakhir,
tak kurang dari 5% (dari 2231 jiwa) mengenyam jenjang perguruan tinggi. Namun,
seperti terjadi di banyak tempat di Indonesia, angka keterdidikan tak selalu beriring-jalan
dengan tradisi intelektualitas. Indikasinya mudah. Hampir semua institusi
pendidikan, baik berkarakter umum maupun yang bersifat keagamaan, dipastikan
tak memiliki perpustakaan—paling tidak yang terkelola secara baik. Indikasi
lain, di antara ratusan rumah tinggal penduduknya yang semakin megah saja,
hanya dalam hitungan jari bisa ditemukan ruang tamu yang terdapat rak dengan deretan
buku.
Di sisi lain, perangkat-perangkat teknologi yang sama sekali tak memihak
tradisi baca, semisal televisi, VCD player, dan sejenisnya, menjamur dari rumah
ke rumah dengan tingkat konsumsi yang amat tinggi. Secara tragis, masyarakat Lembor mengalami
lompatan dari era agraris ke era teknologi informasi tanpa pernah melalui tradisi
baca dan tulis.
Maka, diawali oleh kegelisahan beberapa orang muda, juga keprihatinan atas
rendahnya minat baca umat Islam secara umum, dan masyarakat Desa Lembor secara
khusus tersebut, Perpustakaan Kyai
Munawar didirikan. Perpustakaan yang berdiri 04 Agustus 2012 / 16 Rhamadan
1433 H ini adalah sebuah langkah awal kecil yang ingin dicoba.
Perpustakaan Kyai
Munawar menempati ruangan berukuran 3,7x 6 meter
di sayap utara Masjid Al-Abror, Desa Lembor. Saat ini, Perpustakaan Kyai Munawar baru memiliki koleksi sebanyak 431 buku yang
terdiri atas berbagai jenis (mulai dari filsafat, sejarah, tuntunan ibadah, buku
anak-anak, sampai jenis-jenis penyakit ternak), yang kesemuanya merupakan
sumbangan awal segelintir orang yang terlibat menggagas institusi ini.
Dibanding dengan jumlah penduduk Desa Lembor secara umum, dan jamaah Masjid
Al-Abror (556 jamaah), tentu saja jumlah buku itu jauh dari mencukupi dan akan
sangat sulit untuk menarik minat khalayak, baik dari kalangan dewasa maupun
anak-anak, untuk datang ke perpustakaan. Jumlah itu juga sama sekali tak
memadai untuk memuaskan sedikit orang yang telah mencoba bersetia untuk membaca
di sana. Karena itulah, Perpustakaan
Kyai Munawar sangat membutuhkan
perhatian dan peran serta aktif dari pihak-pihak yang memiliki komitmen
terhadap terbangunnya minat baca masyarakat, khususnya umat Islam.
Mengapa Perpustakaan “Kyai Munawar”?
Para penggagas perpustakaan tersebut di atas
dengan mudah bersepakat menamai perpustakaan ini dengan nama “Kyai Munawar”, alih-alih
menamainya dengan nama-nama yang (sok) islami, apalagi yang sok gagah.
Kyai Munawar adalah seorang guru desa yang
sederhana. Beliau jelas bukan guru tercerdas di dunia, yang memiliki ilmu
pengetahuan luas dan metode canggih yang bisa melahirkan murid-murid pintar.
Namun, jika kita bicara tentang dedikasi, pengabdian yang tak kenal lelah, tak
kunjung menyerah, dan jauh dari pamrih, maka tak diragukan beliau adalah contoh
terbaik. Di tengah banyaknya kendala menjadi pegiat pendidikan di sebuah desa
terpencil--entah itu fasilitas yang menunjang kegiatan belajar-mengajar maupun
fasilitas untuk penghidupan—Kyai Munawar tak pernah berhenti untuk mengingatkan
kepada murid-muridnya, tentu dengan caranya sendiri, betapa pentingnya ilmu
bagi semua aspek kehidupan manusia.
Menabalkan namanya untuk nama sebuah perpustakaan
di masjid di mana beliau melewatkan hampir sebagian hidupnya, pasti tak mungkin
menebus semua jasa dan pengabdian yang telah beliau curahkan khususnya kepada
murid-muridnya, dan secara umum kepada masyarakat dan agamanya. Karena itu, hal
ini tentu semata sebuah perhormatan kecil saja dari sebagian murid-muridnya.
Lagi pula, yang diangankan oleh para penggagas
perpustakaan ini bukanlah sebuah perpustakaan yang besar dan ambisius, namun
sebuah perpustakaan yang sederhana namun berdaya tahan—sebagaimana sosok Kyai
Munawar.
Tujuan
Perpustakaan Kyai
Munawar mungkin tak akan cukup bahkan untuk
sekadar menjadi koreksi kecil atas kealpaan umat Islam secara umum, dan
masyarakat Lembor secara khusus, betapa pentingnya tradisi baca. Namun, semoga,
upaya ini bisa menjadi alternatif minimal untuk meningkatkan sedikit kesadaran
pentingnya ilmu dalam sebuah peradaban, lebih-lebih yang dibangun di atas
pondasi agama yang sangat mengagungkan ilmu.
Sistem dan Target-target
Mencoba bersungguh-sungguh menjadi sebuah
institusi alternatif yang bisa membawa meningkatkan kesadaran akan pentingnya
ilmu dan vitalnya tradisi baca, khususnya bagi lingkungannya sendiri, Perpustakaan
Kyai Munawar sejak awal dicanangkan untuk dijalankan dengan cara dan sistem
yang bersungguh-sungguh juga. Karena itu, bersamaan dengan berdirinya, Perpustakaan
Kyai Munawar juga membentuk struktur kepengurusan yang mandiri.
Selain struktur yang bersifat organisasional (lihat lampiran), Perpustakaan
Kyai Munawar dilengkapi dengan struktur operasional khas perpustakaan,
yaitu adanya jabatan pustakawan. Pustakawan bukan hanya sekadar penunggu
perpustakaan. Pustakawan diharapkan menciptakan sebuah perpustakaan dengan
sistem sirkulasi yang sehat, katalogisasi yang baik, terjamin serta terawatnya
koleksi, dan terlayaninya pengunjung perpustakaan dengan semestinya.
Agar tak sekadar mampu bertahan, Perpustakaan
Kyai Munawar diharapkan bisa terus berkembang dan maju. Dan, satu-satunya
cara untuk mencapai hal itu adalah terus bertambahnya secara kontinyu koleksi
perpustakaan, lebih-lebih dalam tahun-tahun awal beroperasinya perpustakaan.
Untuk itu, Perpustakaan Kyai Munawar menargetkan bertambahnya koleksi
minimal 50 eksemplar perbulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar