Minggu, 16 September 2012

Perpustakaan Kyai Munawar



Tentang Buku dan Membaca

“Bacalah dengan nama Tuhanmu….”
(al-‘Alaq [96]; 1)

Ketika perpustakaan-perpustakaan di Bagdad masih disesaki oleh buku-buku, saat itulah Islam mengalami jaman keemasannya. Ketika ratusan sarjana Islam masih asyik bergulat di laboratorium-labiratorium untuk serangkaian eksperimen serta suntuk di ruang baca menerjemahkan naskah-naskah Plato dan Aristoteles, saat itulah Islam pernah menjadi pusaran peradaban dunia. Tak ada yang menyangkal, lewat lorong-lorong gelap perpustakaan dengan buku berjejal itulah Islam, di bawah Bani Abbasiyah, menerangi dunia yang masih gulita. Umum digambarkan, manakala jalan-jalan di Bagdad telah terang-benderang oleh aneka lampu dan kanal-kanalnya mengalirkan air bersih dari rumah ke rumah, penduduk London masih membuang kotorannya di tepi jalan.

Lalu Bani Abbasyiah lantak oleh serbuan Timur Lenk dari Mongol. Tak ada gambaran yang lebih memilukan dari cerita kehancuran itu kecuali saat perpustakaan-perpustakaan di Bagdad diratakan dengan tanah dan ratusan ribu bukunya ditenggelamkan ke Sungai Tigris. Setelah itu, dunia Islam dan peradaban yang dibangunnya tak pernah lagi sama. 

Saat Eropa yang Nasrani kemudian menyalip dari belakang, dan pada akhirnya dengan angkuh memimpin di depan (hingga saat ini), cerita awalnya pun dari buku. Dalam bukunya, Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, A. Teew, Indonesianis terkemuka asal Belanda, bertutur bahwa Pencerahan Eropa, konon, diawali ketika para biarawan Gereja Santo Benedictus di Skotlandia memutuskan untuk berkelana ke Timur (diperkirakan ke Mesir) guna menyalin buku-buku yang tidak ada di daratan Britania. Dari usaha itulah mereka kemudian menyerap pengetahuan Timur yang saat itu jauh lebih maju. Itulah awal Eropa Nasrani menapaki kebesarannya.

Sedikit paparan itu cukuplah untuk menggambarkan betapa buku, secara material, dan tradisi baca, sebagai tindak kultural, menjadi tolok ukur dari jatuh dan bangunnya sebuah peradaban. Buku dan tradisi baca adalah bibit dan kecambah yang pada nantinya akan berbuah: peradaban.

Maka, Mahabenar Allah, ketika Dia memerintahkan Muhammad SAW membaca, jauh sebelum Dia memerintahkan sholat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Secara tersirat Allah ingin menegaskan bahwa membaca adalah dasar manusia menunaikan tugasnya:  menyembah Tuhannya. Tuhan hanya bisa dikenali kebesaran-Nya ketika manusia bisa membaca tanda-tanda keberadaannya. Tuhan hanya bisa dipuja ketika manusia membaca ilmu yang diajarkan-Nya. Membaca adalah cara paling tua manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dan, tidak ada ibadah yang diterima kecuali ditegakkan di atas pengetahuan.

Diakui atau tidak, umat Islam sekarang berada di shaf paling belakang dalam hal pengetahuan dibanding dengan komunitas keagamaan lain. Setelah tertinggal jauh oleh Eropa dan Amerika yang Nasrani, Islam kini juga harus mengakui keunggulan Jepang, Korea, dan Cina yang bangkit dengan spirit Zen Budhis-nya—yang notabene berhasil bangkit dari tidur panjang peradabannya. Tidak bisa tidak, hal ini tak lain karena rendahnya tradisi baca umat Islam. Umat Islam tidak pernar benar-benar bangkit kembali dari keterpurukan peradabannya, bahkan setelah berabad-abad mulai menyadari keterpurukan tersebut.

Tak ada jalan lain, sebagaimana Allah telah mengawalinya, kebangkitan umat Islam harus diawali dari membaca. Membaca apa saja.


Masyarakat Lembor, Tradisi Baca, dan Perpustakaan Kyai Munawar 

Desa Lembor terletak di ujung barat daya Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa Timur. Seratus persen penduduknya memeluk agama Islam. Jika mengacu kepada klasifikasi Agama Jawa ala Clifford Gertz, masyarakat Lembor sangat layak disebut sebagai masyarakat santri.

Akan tetapi, sebagaimana umat Islam secara umum, tradisi baca masyarakat Lembor—dengan sangat menyesal musti dikatakan—masih sangat rendah. Intelektualitas, satu hal yang paling identik dengan tradisi baca, belum lagi menjadi sesuatu yang diprioritaskan. Seiring membaiknya ekonomi masyarakat desa Lembor akibat gelombang TKI-sasi dalam dua dekade terakhir, perbaikan tingkat pendidikan memang mengalami peningkatan. Paling tidak, menurut sensus terakhir, tak kurang dari 5% (dari 2231 jiwa) mengenyam jenjang perguruan tinggi. Namun, seperti terjadi di banyak tempat di Indonesia, angka keterdidikan tak selalu beriring-jalan dengan tradisi intelektualitas. Indikasinya mudah. Hampir semua institusi pendidikan, baik berkarakter umum maupun yang bersifat keagamaan, dipastikan tak memiliki perpustakaan—paling tidak yang terkelola secara baik. Indikasi lain, di antara ratusan rumah tinggal penduduknya yang semakin megah saja, hanya dalam hitungan jari bisa ditemukan ruang tamu yang terdapat rak dengan deretan buku.   

Di sisi lain, perangkat-perangkat teknologi yang sama sekali tak memihak tradisi baca, semisal televisi, VCD player, dan sejenisnya, menjamur dari rumah ke rumah dengan tingkat konsumsi yang amat tinggi.  Secara tragis, masyarakat Lembor mengalami lompatan dari era agraris ke era teknologi informasi tanpa pernah melalui tradisi baca dan tulis.

Maka, diawali oleh kegelisahan beberapa orang muda, juga keprihatinan atas rendahnya minat baca umat Islam secara umum, dan masyarakat Desa Lembor secara khusus tersebut, Perpustakaan Kyai Munawar didirikan. Perpustakaan yang berdiri 04 Agustus 2012 / 16 Rhamadan 1433 H ini adalah sebuah langkah awal kecil yang ingin dicoba.

Perpustakaan Kyai Munawar menempati ruangan berukuran 3,7x 6 meter di sayap utara Masjid Al-Abror, Desa Lembor. Saat ini, Perpustakaan Kyai Munawar baru memiliki koleksi sebanyak 431 buku yang terdiri atas berbagai jenis (mulai dari filsafat, sejarah, tuntunan ibadah, buku anak-anak, sampai jenis-jenis penyakit ternak), yang kesemuanya merupakan sumbangan awal segelintir orang yang terlibat menggagas institusi ini.  

Dibanding dengan jumlah penduduk Desa Lembor secara umum, dan jamaah Masjid Al-Abror (556 jamaah), tentu saja jumlah buku itu jauh dari mencukupi dan akan sangat sulit untuk menarik minat khalayak, baik dari kalangan dewasa maupun anak-anak, untuk datang ke perpustakaan. Jumlah itu juga sama sekali tak memadai untuk memuaskan sedikit orang yang telah mencoba bersetia untuk membaca di sana. Karena itulah, Perpustakaan Kyai Munawar sangat membutuhkan perhatian dan peran serta aktif dari pihak-pihak yang memiliki komitmen terhadap terbangunnya minat baca masyarakat, khususnya umat Islam.


Mengapa Perpustakaan “Kyai Munawar”?

Para penggagas perpustakaan tersebut di atas dengan mudah bersepakat menamai perpustakaan ini dengan nama “Kyai Munawar”, alih-alih menamainya dengan nama-nama yang (sok) islami, apalagi yang sok gagah.

Kyai Munawar adalah seorang guru desa yang sederhana. Beliau jelas bukan guru tercerdas di dunia, yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan metode canggih yang bisa melahirkan murid-murid pintar. Namun, jika kita bicara tentang dedikasi, pengabdian yang tak kenal lelah, tak kunjung menyerah, dan jauh dari pamrih, maka tak diragukan beliau adalah contoh terbaik. Di tengah banyaknya kendala menjadi pegiat pendidikan di sebuah desa terpencil--entah itu fasilitas yang menunjang kegiatan belajar-mengajar maupun fasilitas untuk penghidupan—Kyai Munawar tak pernah berhenti untuk mengingatkan kepada murid-muridnya, tentu dengan caranya sendiri, betapa pentingnya ilmu bagi semua aspek kehidupan manusia.

Menabalkan namanya untuk nama sebuah perpustakaan di masjid di mana beliau melewatkan hampir sebagian hidupnya, pasti tak mungkin menebus semua jasa dan pengabdian yang telah beliau curahkan khususnya kepada murid-muridnya, dan secara umum kepada masyarakat dan agamanya. Karena itu, hal ini tentu semata sebuah perhormatan kecil saja dari sebagian murid-muridnya.

Lagi pula, yang diangankan oleh para penggagas perpustakaan ini bukanlah sebuah perpustakaan yang besar dan ambisius, namun sebuah perpustakaan yang sederhana namun berdaya tahan—sebagaimana sosok Kyai Munawar.


Tujuan

Perpustakaan Kyai Munawar mungkin tak akan cukup bahkan untuk sekadar menjadi koreksi kecil atas kealpaan umat Islam secara umum, dan masyarakat Lembor secara khusus, betapa pentingnya tradisi baca. Namun, semoga, upaya ini bisa menjadi alternatif minimal untuk meningkatkan sedikit kesadaran pentingnya ilmu dalam sebuah peradaban, lebih-lebih yang dibangun di atas pondasi agama yang sangat mengagungkan ilmu.

Sistem dan Target-target

Mencoba bersungguh-sungguh menjadi sebuah institusi alternatif yang bisa membawa meningkatkan kesadaran akan pentingnya ilmu dan vitalnya tradisi baca, khususnya bagi lingkungannya sendiri, Perpustakaan Kyai Munawar sejak awal dicanangkan untuk dijalankan dengan cara dan sistem yang bersungguh-sungguh juga. Karena itu, bersamaan dengan berdirinya, Perpustakaan Kyai Munawar juga membentuk struktur kepengurusan yang mandiri. Selain struktur yang bersifat organisasional (lihat lampiran), Perpustakaan Kyai Munawar dilengkapi dengan struktur operasional khas perpustakaan, yaitu adanya jabatan pustakawan. Pustakawan bukan hanya sekadar penunggu perpustakaan. Pustakawan diharapkan menciptakan sebuah perpustakaan dengan sistem sirkulasi yang sehat, katalogisasi yang baik, terjamin serta terawatnya koleksi, dan terlayaninya pengunjung perpustakaan dengan semestinya.

Agar tak sekadar mampu bertahan, Perpustakaan Kyai Munawar diharapkan bisa terus berkembang dan maju. Dan, satu-satunya cara untuk mencapai hal itu adalah terus bertambahnya secara kontinyu koleksi perpustakaan, lebih-lebih dalam tahun-tahun awal beroperasinya perpustakaan. Untuk itu, Perpustakaan Kyai Munawar menargetkan bertambahnya koleksi minimal 50 eksemplar perbulan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar