Minggu, 21 April 2013

Buku-buku dan Saya: Sebuah Hubungan yang Rumit


Oleh Mahfud Ikhwan


"Jika engkau telah memiliki sebuah perpustakaan besar dan mengetahui semua buku yang terdapat di dalamnya, itu ... tidak serta-merta bahwa engkau adalah seorang pemikir. Perpustakaanmu yang besar itu hanya menunjukkan bahwa dompetmu cukup tebal untuk menyewa beberapa orang yang berpikir untukmu."   
-- Mohammad Iqbal, Filsuf --



Ini terjadi kira-kira hampir sewindu lalu, di sebuah kantor LSM di Jakarta.

Seorang teman, yang mendaku dirinya sebagai anak gaul (dan ia nyaman dengan label itu), mengernyitkan dahi saat saya bercerita kalau saya bisa belanja buku hingga 300 ribu sekali beli. “Ih, itu bisa dapat baju berapa potong ya?” tanyanya.

Saya menanggapi tanggapannya dengan senyum. Meski tak bermaksud merendahkan cara dia berpikir soal apa yang dikonsumsinya, saya merasa pantas untuk membanggakan diri. Saya manusia biasa, yang kadang mengidap keangkuhan. Ya, seperti kebanyakan dari kita, yang selalu memandang diri sendiri lebih baik dari orang lain. Lebih-lebih ketika kita mendapatkan parameter yang jelas: pakaian dan buku, alias gombal dan kitab. (Tak perlu jadi sok intelek ‘kan untuk tahu mana yang lebih mulia?) Karena cara berpikir yang demikian, saya saat itu juga punya sangkaan kalau teman saya yang gaul itu sedang mendapat pelajaran penting kalau gombal bukan satu-satunya yang mesti dibeli jika kita punya uang saku lebih. Terus terang, saya berharap sebuah pencerahan menghampiri kepalanya, begitu ia pulang dan memiliki waktu untuk merenung.

Tapi, seiring berjalannya waktu, rasa-rasanya, sayalah yang justru mendapatkan pencerahan dari dialog pendek itu.

***

Saya menyukai buku sejak kecil. Dan saya semakin mencintai buku begitu kuliah di Jogja. Tapi, sampai beberapa semester, saya bukan seorang pembeli buku. Maklum, saya tak memiliki alokasi untuk itu. Saya hanya mahasiswa yang hidup matinya tergantung dari wesel orang tua, dengan hitung-hitungan jelas: SPP+biaya hidup. Buku tak dihitung di situ. Kalau pun beli buku, saya hanya beli yang kira-kira benar-benar menentukan untuk kuliah. Kalau pun beli buku di luar keperluan kuliah, saya cari buku yang benar-benar murah. Bajetnya kira-kira antara 5 ribu hingga 10 ribu. Itu pun benar-benar saya batasi untuk yang benar-benar saya sukai. Saya masih ingat buku-buku yang pertama yang saya beli lengkap dengan harganya. Antara lain adalah dua kumpulan cerpen Komunitas Sastra Bulak Sumur (KSBS) yang harganya masing-masing tak lebih dari Rp3500. Saya juga punya dua kumpulan cerpen Bernas (salah satunya berjudul Guru Tarno, yang harganya kurang lebih 6 ribu). Buku termahal saya waktu itu adalah novel Kroco (Putu Wijaya) yang harganya 9 ribu.

Di luar buku-buku itu, kesukaan saya terhadap buku terpaksa saya tumpahkan di perpus-perpus yang bisa dijangkau. Juga buku teman-teman yang bisa dipinjam. Tapi, ketika semakin banyak menemukan buku-buku yang rasa-rasanya tak cukup dibaca sekali, juga melihat kamar beberapa teman yang dihiasi rak-rak penuh buku, saya tersiksa dengan “keasketisan” saya ini. Lebih-lebih, saya tinggal tidak jauh dari Shoping Center, pasar buku di Jogja, sorganya para pencinta buku. Lengkaplah penderitaan saya.

Tersiksa oleh kesakitan ini, saya mulai berpikir untuk belajar menulis. Itu cara banyak mahasiswa Jogja mendapatkan bukunya. Saya mungkin bisa mencoba cara yang sama. Dan itu ternyata berhasil. Semenjak cerpen pertama saya dimuat di sebuah majalah remaja, saya mulai sedikit berani beli buku. Tapi, keberanian itu tentu saja bukan disebabkan karena saya mendapat banyak uang dari menulis. Keberanian itu muncul, lebih karena munculnya keangkuhan konyol bahwa dengan (merasa) menjadi penulis saya merasa telah memiliki pekerjaan dan bisa berharap memiliki penghasilan.

Dengan merasa jadi penulis, plus keberanian untuk beli buku, sampai selesai kuliah, ternyata buku saya tak kunjung banyak. Selama lima tahun kuliah, buku saya tak lebih dari 300-an ex.. Itu pun kebanyakan tipis-tipis dan jelas (dari judul dan wujudnya) bekas.

Mohon maklum, dalam lima tahun itu saya memang tetap mahasiswa miskin dan penulis yang belum kunjung berhasil.

***


Saat lulus dan mulai bekerja, meski dengan gaji yang semenjana, saya merasa lebih bebas berhubungan dengan buku. Bisa ditebak, konsumsi saya terhadap buku jadi jauh meningkat. Buku-buku yang sejak dulu saya incar, saya beli satu demi satu. Pakaian bulukan, tak peduli. Hidup di kota besar tanpa hp, tak masalah. Tabungan tak pernah benar-benar diisi, cuek saja. Pada saat-saat inilah saya bisa beli buku dalam satu hari dengan alokasi yang kadang melebihi biaya makan sebulan. Dan, pada saat ini pula dialog dengan teman yang saya cuplik di awal tadi terjadi.

Maka, dalam waktu yang jauh lebih singkat, jumlah buku yang terpajang di rak di kamar saya jauh melebihi jumlah buku saat lima tahun jadi mahasiswa. Yang jauh lebih berbeda dari koleksi buku saya sebelumnya, banyak buku baru di situ. Dan banyak di antaranya tebal-tebal. Jelas lebih keren kalau dilihat. Dan, sebagai seorang yang menganggap buku sebagai bagian penting dalam hidup (seperti seorang interpreneur dengan akumulasi modalnya, atau seorang PNS dengan kenaikan kelas kepegawaiannya, atau seorang petani dengan rajakayanya), saya sangat membanggakan buku-buku yang saya beli itu. 

Tapi, bersamaan dengan konsumsi buku yang meningkat, rak-rak yang semakin banyak dan semakin sesak saja, hasrat saya membaca justru tengah merosot. Setelah bekerja seharian, rasa-rasanya kita seperti memiliki hak untuk menjadi malas. Dan, setelah sekian lama tak lagi berstatus mahasiswa, kita sepertinya merasa baik-baik saja jika tak terlalu keras belajar. Demikianlah. Dulu, saat masih dengan buku tipis-tipis, bulukan, bodol, jahit kawat yang karatan, saya selalu hapal diluar kepala judul sebuah buku hanya dengan melihat di bagian rak mana dia berada—sebab hampir semua buku itu tuntas terbaca. Kini, meski banyak buku dengan punggug tebal dan judul jelas tertera, saya tak benar-benar bisa mengingat itu buku apa, atau tentang apa. Bahkan, untuk beberapa buku, saya benar-benar tak tahu buku itu tentang apa, karena belum pernah membacanya.

Yang jadi masalah, meski tak lagi liat dalam membaca, hasrat saya untuk membeli buku, tetap saja besar. Dalam kasus ini, “mencintai haruslah memiliki” benar-benar terjadi. Maka, saya pun tetap membeli buku—meski anggaran untuk membeli teh dan kopi harus dikebiri. Dan, dengan demikian, semakin banyak saja buku di rak yang tak terbaca.

***


Kalau dulu, seusai belanja buku habis banyak (entah karena agak mahal, atau karena beli dalam jumlah besar), saya selalu pulang dengan gundah karena saya telah berlaku terlalu boros dan telah dengan semena-mena merampas hak perut saya di pengujung bulan nanti. Kini, saya juga mengalami hal yang sama, tapi dengan alasan yang sedikit berbeda. Sehabis keluar dari pameran buku, dengan membawa belanja ratusan ribu, saya gundah karena sulit membayangkan kapan buku-buku itu akan terbaca. Bukan saja karena daftar antrian buku yang belum dibaca semakin panjang saja, tapi karena banyak buku yang saya beli sebenarnya tak benar-benar saya butuhkan (paling tidak dalam waktu dekat).

Pada titik inilah saya biasanya teringat apa yang dikatakan teman saya dulu. “Ih, itu bisa dapat baju berapa potong ya?”

Kalimat itu terngiang. Kali ini, saya mengingatnya tidak dengan bibir senyum, tapi dengan muka tercenung. Keangkuhan yang dulu saya sandang, berkait perbandingan antara buku dan baju, jadi meluruh. Saya merasa tak berhak untuk bangga—bahkan mungkin saya sebaiknya merasa malu. Sebab, mulai saya sadari, kami sebenarnya sama saja. Kami sama-sama belanja. Kami sama-sama membeli. Kami sama-sama mengkonsumsi. Saya beli buku, dia beli baju. Saat membeli, semangat kami sama: menambah koleksi, melayani hobi, memenuhi hasrat. Ah, dalam beberapa hal, mungkin dia malah lebih baik. Misalnya, dia tak terlalu berbusa-busa bicara soal kebiasaan beli bajunya, sementara saya begitu membanggakan kebiasaan saya beli buku. 

Ketika kegundahan ini saya bagi dengan teman-teman yang saya anggap memiliki kecenderungan yang sama (tentu saja dengan mengutip perkataan teman saya yang mengaku gaul itu), tanggapan mereka rata-rata seragam. “Ah, tetap bedalah baju sama buku.” Seorang teman yang lain, berkelakar (tapi dengan semangat bersungguh-sungguh), “kita beli buku kan bukan hanya untuk diri kita, tapi untuk anak-anak kita kelak.”

“Ya jelas beda. Pokoknya beda!” kata sebagian dari diri saya yang masih saja angkuh.

Meski saat membeli kita tampak begitu rakus? Meski sebuah buku kita beli hanya karena harganya berdiskon? Meski saat beli buku kita seperti orang Amerika yang berbondong-bondong beli Encyclopedia Britanica untuk mempermanis ruang tamunya?

“Pokoknya, buku jauh lebih mulia dari baju!” Itulah kalimat pamungkas yang akhirnya saya pakai untuk mengusir rasa bersalah.

***


Membeli buku itu baik. Namun, kita akan menjadi manusia yang lebih baik jika kita membaca buku yang kita beli. Dan, orang yang membaca buku-lah (dan bukan sekadar membelinya) yang lebih mulia dibanding dengan orang yang membeli baju.

Saya yakin begitu.


*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Atas Angin