Senin, 24 September 2012

Veteran Amerika, Jip Belanda, dan Sejarah Indonesia

Siapa sangka jika sejarah revolusi Indonesia memiliki hutang besar dengan seorang veteran Amerika dan seonggok jip bekas pasukan Belanda?

Tersebutlah nama George McTurnan Kahin. Sebagai anggota sukarelawan pasukan penerjun Amerika yang direncanakan akan diturunkan di Hindia Belanda, Kahin mendapatkan bekal pengetahuan tentang Hindia Belanda sebelum diterjunkan di lapangan. Namun, karena yang kemudian diterjunkan di Hindia Belanda adalah pasukan Inggris dan bukannya pasukan Amerika, Kahin tak jadi diberangkatkan dan satuannya malah dibubarkan. Tapi rupanya, Hindia Belanda sudah kadung memikat hatinya. Memakai uang santunannya sebagai veteran pasukan Amerika, Kahin kemudian mengambil kuliah Asia Tenggara di Universitas John Hopkins. Tahun 1948, Kahin tiba di Jakarta untuk memulai penggarapan disertasi doktoralnya tentang Hindia Belanda.

Kamis, 20 September 2012

Pemberontak itu Mencuri 2500 Buku


Seperti kebanyakan pemberontakan dan gerakan revolusi di seluruh dunia, konsep-konsep yang ditawarkan tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Kahar Muzakkar, sering sangat muluk. Hal itu bisa disimak pada buku panduan revolusi Islam yang ditulisnya, Catatan Bathin Pejuang Islam Revolusioner, juga pada isi Piagam Makalua yang digagasnya. 

Namun, jangan salah. Kahar Muzakkar tak mau berhenti hanya pada konsep. Ia mencoba mewujudkan konsep-konsep itu dalam tindakan, meski dalam beberapa ukuran tindakan itu dapat dianggap "tidak biasa".

Selasa, 18 September 2012

Olok-Olok Si Lugu


Oleh Mahfud Ikhwan

Judul: Si Lugu
Genre: Sastra/fiksi
Penulis: Voltaire
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: Obor, Jakarta
Tahun: 2001 (cet.ke-4)
Halaman: 117 + x


Si Lugu bukan buku Voltaire pertama yang saya baca. Nun dulu, saat masih sekolah, seingat saya saya pernah punya satu buku Voltaire warna kuning terbitan Pustaka Jaya. Mungkin Zadig. Meski demikian, saya menemukan Voltaire yang seperti dikatakan banyak orang—termasuk oleh salah satu pemujanya di Indonesia, sang Begawan Goenawan Mohamad (GM)—baru di Si Lugu  (Prancis: L’Ingenu). GM pernah menyebut Voltaire, a.k.a. Francois-Marie Arouet (Paris, 1694-1778), sebagai si pencemooh nomor satu. Dan, sepanjang pembacaan saya, itu benar adanya.

Minggu, 16 September 2012

Sejarah yang Jujur


Oleh Mahfud Ikhwan

Telah umum diketahui, pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang diajarkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliah (MA) lebih mirip pelajaran Akidah Akhlak—mata pelajaran yang berisi tentang doktrin agama dan budi pekerti. SKI dimuati begitu banyak misi “meningkatkan keimanan dan ketakwaan” siswa. Mungkin pembaca akan menilai diksi saya ini berlebihan. Namun, anda akan sepakat jika telah membaca panduan penulisan buku ajar SKI MI-MI yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI tahun 2004. Dalam buku panduan yang berlabel “sesuai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” itu bertebaran indikator-indikator yang tidak jauh-jauh dari kata “meneladani”, “mencontoh”, atau sebaliknya, “menghindari”, “menjauhi”, dst. Misalnya, “meneladani sikap terpuji rasul”, “meneladani ketabahan rasul dan para sahabatnya,” “mencontoh keperwiraan rasul dalam perang anu”,  atau “menghindari sifat tercela kaum kafir Quraisy”, “menjauhi sifat-sifat tercela orang Yahudi”, dst.

Perpustakaan Kyai Munawar



Tentang Buku dan Membaca

“Bacalah dengan nama Tuhanmu….”
(al-‘Alaq [96]; 1)

Ketika perpustakaan-perpustakaan di Bagdad masih disesaki oleh buku-buku, saat itulah Islam mengalami jaman keemasannya. Ketika ratusan sarjana Islam masih asyik bergulat di laboratorium-labiratorium untuk serangkaian eksperimen serta suntuk di ruang baca menerjemahkan naskah-naskah Plato dan Aristoteles, saat itulah Islam pernah menjadi pusaran peradaban dunia. Tak ada yang menyangkal, lewat lorong-lorong gelap perpustakaan dengan buku berjejal itulah Islam, di bawah Bani Abbasiyah, menerangi dunia yang masih gulita. Umum digambarkan, manakala jalan-jalan di Bagdad telah terang-benderang oleh aneka lampu dan kanal-kanalnya mengalirkan air bersih dari rumah ke rumah, penduduk London masih membuang kotorannya di tepi jalan.