Oleh Mahfud Ikhwan
Telah umum
diketahui, pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang diajarkan di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliah (MA) lebih mirip pelajaran Akidah
Akhlak—mata pelajaran yang berisi tentang doktrin agama dan budi pekerti. SKI
dimuati begitu banyak misi “meningkatkan keimanan dan ketakwaan” siswa. Mungkin
pembaca akan menilai diksi saya ini berlebihan. Namun, anda akan sepakat jika
telah membaca panduan penulisan buku ajar SKI MI-MI yang dikeluarkan oleh Departemen
Agama RI tahun 2004. Dalam buku panduan yang berlabel “sesuai Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK)” itu bertebaran indikator-indikator yang tidak
jauh-jauh dari kata “meneladani”, “mencontoh”, atau sebaliknya, “menghindari”,
“menjauhi”, dst. Misalnya, “meneladani sikap terpuji rasul”, “meneladani
ketabahan rasul dan para sahabatnya,” “mencontoh keperwiraan rasul dalam perang
anu”, atau “menghindari sifat tercela
kaum kafir Quraisy”, “menjauhi sifat-sifat tercela orang Yahudi”, dst.
Dalam batas-batas
tertentu, muatan-muatan seperti itu mungkin bisa dimaklumi, mengingat label
agama yang tersemat pada mata pelajaran tersebut. Namun yang patut disayangkan,
muatan-muatan itu kadang melebihi proporsi. Ketika “islam” lebih ditekankan
daripada “sejarah”-nya, maka SKI pun berhenti sebagai ilmu, tapi doktrin. Dan,
doktrin jelas berbeda dengan sejarah. Doktrin selalu mengasumsikan kebenaran
mutlak yang tanpa kritik, sementara sejarah adalah sebuah upaya mengungkap
kebenaran (masa lalu) yang selalu terbuka dengan kebenaran-kebenaran baru.
Doktrin bertumpu pada keyakinan yang mantap, sementara sejarah berdiri di atas
data dan fakta yang fleksibel dan tak pernah selesai. Jika sejarah telah
terjebak menjadi doktrin, maka yang muncul adalah sebuah sejarah yang telah fix,
mantap, tak terbantahkan, dan mutlak benar. Padahal, sejarah pada fitrahnya
adalah sebuah rekonstruksi. Ia dirumuskan jauh setelah kejadian. Dalam jeda
waktu antara kejadian dengan perumusan, begitu banyak kejadian—baik politis
maupun sosial-kultural—yang memengaruhi penulisan sejarah tersebut. Lagi pula,
sebagaimana ilmu pengetahun yang lain, ia tak pernah bisa kebal dari data-data
dan fakta-fakta baru. Jadi, menganggap sejarah sebagai kebenaran yang telah fix
adalah pengingkaran atas fitrah sejarah itu sendiri.
Akibat lebih jauh
dari sejarah yang jatuh menjadi doktrin adalah munculnya sejarah sebagai cerita
heroik. Dalam sejarah yang seperti ini, berlaku hukum dan kaidah-kaidah cerita
heroik: hitam-putih, benar-salah, kalah-menang, pahlawan-pecundang. Semua harus
jelas. Tak ada ruang bagi yang abu-abu. Tak ada tempat untuk yang
samar-samar. Dengan rumus seperti itu,
jangan heran jika suatu saat dalam buku sejarah kita menemukan tokoh yang
baiknya minta ampun atau jahatnya amit-amit.
Sebagai
contoh, saya akan bicara tentang sejarah Khulafa'ur Rasyidun di buku-buku
pelajaran SKI MI kita. Dalam hampir semua buku sejarah Islam untuk sekolah, sejarah
Khulafa’ al-Rasyidun, lebih banyak dipenuhi oleh sejarah peperangan (dengan
pihak muslim sebagai pemenangnya tentu saja). Pada masa inilah terjadi
penaklukan besar-besaran. Sejarah Khulafa'ur Rasyidun juga dipenuhi dengan
berbagai pujian tentang akhlak keempat khalifah. Dan, di pada titik inilah
biasanya kurikulum SKI sering terjebak terlalu jauh ke wilayah Akidah Akhlak.
Karena tuntutan menjadikan Khulafa'ur Rasyidun sebagi teladan anak-anak,
buku-buku SKI MI harus mati-matian membersihkan noda (jika memang layak disebut
demikian) dari keempat khalifah. Akhirnya, buku-buku tersebut tidak bisa
bersikap jujur. Data dan fakta membuktikan bahwa pada masa inilah akar-akar perpecahan
dalam tubuh umat Islam mulai tumbuh. Perlu juga diingat bahwa masa ini Islam
juga memiliki “sisi-sisi yang gelap”: intrik politik di lingkaran elit sahabat
Nabi, tribalisme kabilah yang kembali mencuat, dominasi Quraisy yang sangat
kuat, dan juga motif-motif politik ekonomi di balik dalih tersebarnya agama
Islam. Pada saat itu pula lahir faksi-faksi seperti Sunni, Syiah, atau Khawarij
yang kemudian mewariskan konflik yang laten sampai saat ini. Padahal, tanpa
memaparkan “sisi gelap” ini, siapa pun akan sulit menemukan konteks munculnya
beberapa perang saudara seperti Perang Jamal atau Perang Siffin. Juga tentang
fakta bahwa tiga dari empat Khulafa’ al-Rasyidun terbunuh di ujung pedang para
pembunuh gelap. Dua khalifah terakhir bahkan dibunuh oleh saudaranya sesama
muslim.
Disengaja
atau tidak, kelalaian (jika boleh disebut demikian) memiliki konsekuensi yang
tidak kecil bagi umat Islam. Bisa jadi, dari buku-buku sejarah di sekolah
seperti SKI inilah akar konflik antarfaksi dalam Islam tak pernah bisa sembuh.
Di Indonesia, misalnya, buku-buku SKI jelas sekali bernuansa Sunni. Dalam buku
yang Sunni, jangan harap faksi lain mendapat tempat. Kecuali, sebagai pihak antagonis.
Dengan demikian, purbasangka yang telah tua itu tetap akan terpelihara. Klaim
kebenaran, misalnya tentang satu-satunya golongan di antara 73 yang masuk surga,
tetap akan bertahan. Dan rekonsiliasi pun akan berhenti sebagai mimpi.
(Perlu
diingat bahwa umat Islam Indonesia tetap mayoritas adalah lulusan sekolah
setingkat SD. Dan, dengan keadaan ekonomi seperti ini, angka mayoritas ini akan
tetap lestari. Artinya, satu-satunya sumber sejarah Islam yang mungkin bisa
mereka akses bisa jadi hanyalah buku pelajaran SKI ini. Jika kurikulum SKI
tetap seperti saat ini, jangan harap ada rekonsiliasi dalam tubuh Islam sendiri).
***
Apakah
para pahlawan lahir tanpa kesalahan? Apakah teladan hanya bisa diambil dari
sebuah kebenaran? Sepertinya tidak. Dalam al-Quran sendiri, begitu banyak kisah
tentang kesalahan para nabi. Dengan gamblang al-Quran bercerita kesalahan Adam
dan Hawa, tentang kegagalan Nuh as. mengajak anak dan istrinya, tentang
keangkuhan Musa as. atas ketinggian ilmunya, kesombongan Sulaiman as. atas
kekayaannya, juga tentang Yunus yang mutung
menghadapi kebandelan umatnya. Bahkan tentang Muhammad saw. yang ma’sum,
kita bisa tahu muka masamnya terhadap Ummi Maktum yang buta. Juga tentang
kesalahannya mengambil keputusan soal tawanan dalam Perang Badar. Kisah-kisah
itu menunjukkan bahwa Tuhan pun tidak menutupi kesalahan oran-orang yang
dikasihi-Nya itu. Sebab, Ia memang menghendaki manusia belajar dari kesalahan
orang-orang tersebut. Kisah-kisah itu juga menunjukkan bahwa keteladanan tidak
melulu diambil dari kebijakan, tapi juga kesalahan.
Lalu,
mengapa sejarah Islam begitu alergi dengan sisi gelap Islam? Padahal, dengan
menulis sejarah yang apa adanya pahlawan-pahlawan Islam tak akan pernah
terkikis keagungannya. Juga, dengan keagungan Islam itu sendiri. Menulis
tentang Umar yang berangasan, cepat naik darah, sedikit-sedikit ancam menebas
kepala, juga tentang nasionalisme Arabnya yang kental, tak akan pernah
membuatnya menjadi lebih kerdil. Dunia tidak akan mungkin melupakan
keagungannya. Umat Islam tak mungkin menurunkan rasa hormatnya. Para siswa pun
tak akan meniru kelakuannya. Sebab, mereka juga tahu bahwa al-Faruq memiliki
sisi yang lembut dan welas asih. Demikian pula dengan Usman. Kelemahannya
menghadapi kaum kerabatnya dari Bani Umayyah yang ambisius tak akan mengurangi
kemuliaannya di mata umat Islam. Sifat nepotisnya tak perlu ditakutkan akan
menular kepada siswa-siswa.
Dengan
memaparkan yang apa adanya, para pahlawan Islam itu justru akan utuh sebagai
manusia. Sebagai tokoh yang historis, bukan dewa-dewa. Menurut saya, sejarah
yang ditulis dengan jujur dan apa adanya adalah teladan paling baik bagi
pembacanya.
Waallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar