Oleh Mahfud Ikhwan
Perjalanan dari aktivitas ”membaca” menuju aktivitas
”menulis” selalu menjadi petualangan yang panjang, melelahkan, dan seringkali
menggentarkan. ”Membaca” adalah bagaimana menjadi ember kosong menganga yang
menunggu air ditumpahkan dari timba, sementara ”menulis” adalah menjadi timba
itu sendiri: ia harus mencebur ke sumur yang dalam, memastikan posisi bibir
timba pas dengan permukaan air sehingga bisa menciduk air dengan sebanyak mungkin,
naik mendaki sumur, lalu menumpahkan air tersebut, lalu masuk lagi, menciduk
air lagi, dan baru benar-benar berhenti ketika ember kosong (yang bukan
dirinya) itu penuh air. Penulis, eh timba, adalah altruis sejati, seorang
Prometheus par exelent.
Kita sering menyangka bahwa menjadi ember sudah cukup
mulia ketika kebanyakan orang memilih menjadi bak mandi. Karena itu, ember
kosong yang hendak menjadi timba sering kali sama sulitnya dengan hamba biasa
yang hendak menjadi nabi. ”Emang siapa lo?”
begitu kira-kira komentar para bak mandi yang memang tak tahu apa-apa itu.
Acap kali, sebuah bacaan yang kita temukan adalah semacam
nasihat orang tua: yang kita inginkan cuma mendengarnya, merenungi, atau
menimbang apa itu diambil atau diabaikan, tanpa perlu membantah atau
mengamini. Lain kali, kita seperti mendengar seorang teman bicara dan kita
menyimak saja. Kita punya pendapat lain soal apa yang dibicarakannya, kita punya data berbeda yang bisa diajukan, namun
kita tak hendak bicara karena daripada mempersoalkan benar-tidaknya obrolan itu
kita memilih untuk mencoba menikmati apa yang diobrolkannya atau menunggu apa
yang hendak dibicarakan lebih jauh, dan dengan demikian obrolan tak harus berubah status menjadi adu argumen atau perdebatan. Tapi, bisa juga, sebuah
bacaan yang kita temukan tak lebih dari obrolan di kejauhan yang sayup dan tak
penting benar untuk kita pikirkan, apalagi tanggapi.
Dengan demikian, melakukan reposisi dari "membaca" ke "menulis" bahkan tak semudah mengubah posisi dari bertahan menjadi menyerang seperti yang ada dalam permainan sepakbola. Sebab, dalam reposisi itu, kita seringkali musti jadi anak durhaka yang banyak bacot, teman menjengkelkan yang suka ngajak tengkar, atau orang asing yang senang nimbrung urusan orang lain. Jika kembali ke amsal timba, pembaca yang menulis adalah ember kosong yang tak kerasan dengan penantiannya. Ia maunya nyemplung langsung ke sumur, bersua dengan air, mereguknya sampai penuh, dan memamerkan kepada dunia perjumpaan itu. Meski, ia harus menanggung risiko terbentur-bentur dinding sumur, gagal menciduk air dan terkatung-katung oleh ketidakmampuan, atau bahkan sama sekali tenggelam--sebab tali timba bisa putus kapan saja.
Dengan demikian, melakukan reposisi dari "membaca" ke "menulis" bahkan tak semudah mengubah posisi dari bertahan menjadi menyerang seperti yang ada dalam permainan sepakbola. Sebab, dalam reposisi itu, kita seringkali musti jadi anak durhaka yang banyak bacot, teman menjengkelkan yang suka ngajak tengkar, atau orang asing yang senang nimbrung urusan orang lain. Jika kembali ke amsal timba, pembaca yang menulis adalah ember kosong yang tak kerasan dengan penantiannya. Ia maunya nyemplung langsung ke sumur, bersua dengan air, mereguknya sampai penuh, dan memamerkan kepada dunia perjumpaan itu. Meski, ia harus menanggung risiko terbentur-bentur dinding sumur, gagal menciduk air dan terkatung-katung oleh ketidakmampuan, atau bahkan sama sekali tenggelam--sebab tali timba bisa putus kapan saja.
Tapi, meski
jelas susah, berpeluh-peluh, malah kadang berdarah-darah, sebenarnya banyak
asyiknya menjadi (atau merasa menjadi) timba. Sebab, timbalah yang paling dekat
dengan sumur. Bahkan, kepada bak mandi, yang kadang tak tahu menahu darimana
asal air yang mengisi dirinya, si timba bisa saja—dengan sedikit angkuh—mengaku
sebagai sumur.